MENGAPA KEBANYAKAN ORANG CEPAT MENILAI DARIPADA MEMPERTANYAKANNYA

MENGAPA ORANG CEPAT MENILAI DARIPADA MEMPERTANYAKAN: SEBUAH TINJAUAN DARI PSIKOLOGI SOSIAL DAN SAINS



Dalam interaksi sehari-hari, kita sering menemukan situasi di mana orang cenderung cepat menilai keputusan orang lain alih-alih mempertanyakan atau mencari klarifikasi. Fenomena ini umum terjadi dan memiliki dasar dalam psikologi sosial dan sains. Artikel ini akan membahas mengapa hal tersebut terjadi serta bagaimana kita bisa mengatasi kecenderungan ini dalam kehidupan sosial dan profesional.


1. Efek Priming dan Heuristik dalam Pengambilan Keputusan

Salah satu alasan orang cepat menilai adalah karena mereka menggunakan heuristik, yakni strategi berpikir cepat yang memungkinkan seseorang mengambil keputusan tanpa harus menganalisis secara mendalam. Heuristik ketersediaan misalnya, membuat orang mendasarkan keputusan mereka pada informasi yang paling mudah diingat atau diakses dalam pikiran mereka. Jika mereka pernah mendengar kasus serupa sebelumnya, mereka cenderung mengaitkannya dengan situasi saat ini tanpa mempertanyakan lebih lanjut.


Selain itu, priming; yakni pengaruh pengalaman sebelumnya terhadap persepsi atau keputusan kita saat ini yang dapat memengaruhi cara seseorang bereaksi terhadap suatu situasi. Jika seseorang sudah dipengaruhi oleh asumsi atau prasangka, maka mereka lebih cepat mengambil keputusan dibandingkan mencoba memahami pandangan orang lain.


2. Kebutuhan untuk Efisiensi Kognitif

Otak manusia secara alami mencari cara untuk menghemat energi saat berpikir. Ini dikenal sebagai efisiensi kognitif. Menilai situasi dengan cepat dan mengandalkan asumsi atau stereotip adalah salah satu cara otak kita mengurangi beban pemrosesan informasi. Sayangnya, pendekatan ini sering kali mengorbankan kualitas penilaian, karena kita tidak memberikan kesempatan pada pandangan lain atau pertimbangan yang lebih mendalam.


Dalam konteks sosial, efek ini dapat mempercepat interaksi, tetapi juga mempersempit pemahaman kita terhadap realitas yang lebih kompleks. Alih-alih memperlambat diri untuk memahami sudut pandang lawan bicara, otak kita memilih "jalan pintas" yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman.


3. Teori Atribusi: Internal vs. Eksternal

Teori atribusi dalam psikologi sosial menjelaskan bahwa orang cenderung memberikan penjelasan untuk perilaku orang lain berdasarkan dua faktor: atribusi internal (penyebab yang berhubungan dengan karakter atau kepribadian individu) dan atribusi eksternal (penyebab yang berasal dari faktor situasional).


Kebanyakan orang memiliki kecenderungan yang disebut kesalahan atribusi mendasar, di mana mereka lebih sering menyalahkan karakter individu daripada mempertimbangkan situasi yang memengaruhi keputusan mereka. Misalnya, jika seseorang terlambat datang ke rapat, kita mungkin langsung berpikir bahwa mereka tidak bertanggung jawab (atribusi internal) alih-alih mempertimbangkan bahwa mungkin ada masalah lalu lintas (atribusi eksternal).


4. Polarisasi Sosial dan Pengaruh Kelompok

Dalam interaksi sosial, polarisasi sosial sering kali terjadi ketika kelompok atau individu dengan keyakinan tertentu menjadi lebih ekstrim dalam pandangan mereka setelah berdiskusi dengan kelompok yang berpandangan serupa. Akibatnya, seseorang yang berada dalam lingkaran sosial yang memiliki pendapat kuat mengenai sesuatu akan lebih cenderung mengadopsi penilaian kelompok tersebut tanpa mempertanyakan sudut pandang lainnya.


Pengaruh kelompok ini juga dapat memicu fenomena konformitas, di mana individu merasa tekanan untuk setuju dengan penilaian umum di kelompok mereka. Ketika berada dalam situasi sosial, orang cenderung takut untuk mempertanyakan sesuatu karena mereka ingin dianggap sebagai bagian dari kelompok.


5. Efek Dunning-Kruger: Ketika Ketidaktahuan Terlihat seperti Kepastian

Fenomena lain yang menarik dalam psikologi sosial adalah efek Dunning-Kruger, di mana individu dengan pengetahuan terbatas dalam suatu topik cenderung melebih-lebihkan pemahaman mereka dan membuat penilaian yang salah. Mereka sering kali tidak menyadari betapa sedikit yang mereka ketahui, sehingga merasa yakin bahwa mereka sudah cukup memahami situasi untuk menilai tanpa mempertanyakan lebih jauh.


Sebaliknya, orang yang lebih kompeten dan berpengetahuan justru cenderung meragukan diri mereka sendiri karena mereka menyadari betapa kompleksnya suatu situasi atau topik.


6. Cara Mengatasi Kecenderungan untuk Cepat Menilai

Memahami alasan di balik kecenderungan cepat menilai dapat membantu kita lebih berhati-hati dalam interaksi sosial. Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mengatasi kecenderungan ini:


1. Latih kesadaran diri: Sadari saat Anda merasa ingin cepat menilai orang lain. Ambil waktu sejenak untuk mempertanyakan mengapa Anda berpikir demikian.

   

2. Gunakan empati: Cobalah melihat situasi dari sudut pandang lawan bicara sebelum Anda menilai keputusan atau tindakan mereka.


3. Bertanya, jangan langsung menilai: Alih-alih segera berasumsi, tanyakan apa alasan di balik keputusan atau tindakan seseorang. Ini akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan mengurangi kesalahpahaman.


4. Tingkatkan pengetahuan: Semakin banyak Anda belajar tentang suatu topik, semakin Anda akan menyadari bahwa banyak hal tidak sesederhana yang terlihat, dan ini bisa mendorong Anda untuk mempertanyakan daripada menilai secara instan.


Dengan latihan dan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme psikologis yang berperan, kita bisa memperbaiki cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, membangun hubungan yang lebih positif dan saling memahami, diharapkan bisa membantu pembaca memahami mengapa kita sering kali cepat menilai dan bagaimana cara mengatasi kecenderungan tersebut, terutama dalam konteks sosial yang kompleks.




Ditulis oleh: Arof Wicaksana
Lebih baru Lebih lama